Tuesday, September 15, 2009

TKI Kirim Rp 100 Triliun ke Indonesia

TKI Kirim Rp 100 Triliun ke Indonesia
Selasa, 1 September 2009 | 14:36 WIB | Posts by: jps | Kategori: Berita Terkini, Nusantara | ShareThis

SERANG - SURYA- Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI M Jumhur Hidayat mengingatkan, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri telah memberikan devisa yang tidak kecil bagi Indonesia. Itu sebabnya, jangan pernah berfikir untuk mengambil uang dari TKI melalui pungutan.

“Jumlah uang yang dikirimkan ke Indonesia mencapai Rp 100 triliun setiap tahunnya. Ini saja sudah membantu ekonomi nasional, jadi janganlah mereka dibebani dengan pungutan-pungutan. Mereka bekerja saja, sudah membantu pemerintah karena mengurangi pengangguran,” ujar Jumhur ketika meresmikan kantor Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI di Serang, Banten, Selasa (1/9).

Kepala Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI Serang Sumardi mengatakan, program yang dibuat khusus bagi persiapan TKI sangat dibutuhkan. “Pelatihan yang diberikan ini, diharapkan dapat menjadi bekal bagi TKI untuk bekerja,” ujarnya.

Sekretaris Daerah Banten Muhadi mengatakan, migrasi penduduk seharusnya bisa memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, karena perkembangan kesempatan kerjanya kalah cepat, maka perlu strategi baru untuk menyiapkan lapangan kerja. “Pemerintah sudah seharusnya menyiapkan lapangan kerja, dan memfasilitasi agar masyarakat bisa membekali diri agar bisa mandiri,” ujarnya.
Imam Prihadiyoko/kcm

Indonesia Tekan Malaysia Naikkan Gaji TKI


Indonesia Tekan Malaysia Naikkan Gaji TKI
Jumat, 04 September 2009 08:40

Tenaga kerja indonesia yang akan dikirim ke luar negri melalui jasa penampungan TKI di luarnegri. (SuaraMedia News)KUALA LUMPUR (SuaraMedia News) - Pemerintah Indonesia akan mendesak Malaysia untuk memberikan standar gaji pembantu yang lebih tinggi dari yang berlaku saat ini, minimal sebesar Rp2,3 juta per bulan atau setara 800 ringgit Malaysia.

Demikian disampaikan Dubes RI untuk Kerajaan Malaysia Da`i Bachtiar dalam acara buka puasa bersama sekitar 400 TKI, di KBRI Kuala Lumpur, Kamis.

Tuntutan pemerintah Indonesia itu dibahas dalam perundingan bilateral yang akan berlangsung di Jakarta, Sabtu 5 September 2009. Standar gaji pembantu tersebut meningkat cukup besar ketimbang yang berlaku saat ini yang berada dalam kisarana 400 ringgit hingga 500 ringgit per bulan.

"Pemerintah Indonesia akan menuntut gaji pembantunya di Malaysia menjadi 800 ringgit per bulannya untuk TKI tingkatan pemula," kata Da`i Bachtiar

Sejak Maret 2009, KBRI menetapkan gaji pembantu di Malaysia minimal sebesar 600 ringgit per bulan bagi perpanjangan masa kerja.

"Jika ada majikan Malaysia yang ingin memperpanjang masa kerja pembantu Indonesia dari dua tahun menjadi tiga atau empat tahun, maka kami menuntut gajinya minimal 600ringgit per bulan. Jika tidak maka kami tidak akan perpanjang kontrak kerjanya," kata mantan Kapolri itu.

Indonesia dan Malaysia akan melakukan perundingan bilateral merevisi MOU tahun 2006 tentang rekrutmen dan penempatan TKI informal di Malaysia.

Dua minggu lalu, Pokja (kelompok kerja) Indonesia - Malaysia melakukan perundingan di Putrajaya dengan beberapa kesepakatan yakni Malaysia setuju paspor dipegang oleh TKI, pembantu Indonesia dapat libur satu hari per minggu, an ada kisaran gaji dimana ada gaji awal, kemudian kenaikan gaji berkala hingga maksimal.

Pelarangan rekrutmen pembantu secara individu, dilakukannya revisi terhadap biaya rekrutmen dan penempatan (cost structure), serta kesepakatan perlunya pembentukan Satgas (task force) yang monitor implementasi kesepakatan bilateral atau revisi MOU tahun 2006.

"Selama belum ada penandatanganan MOU atau kontrak baru mengenai perlindungan pembantu Indonesia di Malaysia, maka kebijakan penghentian pengiriman pembantu ke Malaysia tidak akan dicabut," kata ketua tim delegasi Indonesia Arief Havas Oegroseno, beberapa waktu lalu.

Indonesia menghentikan pengiriman pembantu sejak 25 Juni 2009 terkait dengan penyiksaan pembantu Siti Hajar dan Modesta.

Sebelumnya, Pada awal bulan puasa, Pemerintah Malaysia makin gencar mengusir tenaga kerja Indonesia (TKI) atau WNI bermasalah, yang ditangkap pihak berwajib Malaysia karena tidak memiliki dokumen resmi sebagai tenaga kerja asing.

Hari ini Pemerintah Malaysia mengusir TKI/WNI bermasalah melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang sebanyak dua kali dengan jumlah 285 orang TKI/WNI bermasalah dan sebanyak 17 orang anak dibawah umur (balita).

"Pemerintah Malaysia hari ini memulangkan sebanyak dua kali yaitu pada pukul 12.00 WIB sebanyak 115 orang laki-laki dan 28 orang perempuan, serta anak-anak sebanyak delapan orang. Pukul 17.45 WIB sebanyak 114 laki-laki, perempuan 28 orang dan anak-anak sebanyak sembilan orang," kata Kepala Seksi (Kasi) Lintas Batas Imigrasi Kota Tanjungpinang, Ispaisyah, Sabtu.

Ratusan TKI/WNI bermasalah dan balita tersebut diangkut dengan kapal Batam Line dari Pasir Gudang Malaysia menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang.

Ispaisyah mengatakan TKI/WNI bermasalah tersebut selanjutnya akan dibawa ke penampungan TKI/WNI bermasalah di batu 7 Tanjungpinang oleh Satgas TKI/WNI bermasalah Dinas Sosial (Dinsos) Kota Tanjungpinang.

Sementara salah seorang petugas Dinsos Kota Tanjungpinang, Raja mengaatakan TKI/WNI yang diusir pemerintah Malaysia tersebut semuanya dalam keadaan sehat.

"Mereka semua sehat, termasuk 17 orang balita," ujarnya.

Raja mengatakan TKI/WNI bermasalah tersebut untuk sementara akan ditampung di penampungan sambil menunggu kapal untuk dipulangkan ke daerah masing-masing.

"Bagi mereka yang tinggaal di daerah Sumatera kemungkinan bisa langsung dipulangkan besok dengan menggunakan kapal feri Dumai Ekspres menuju Pekanbaru dan Dumai," ujarnya.

Sedangkan TKI/WNI yang berasal dari daerah Pulau Jawa dan Indonesia bagian timur dipulangkan menunggu kapal Pelni nyandar di Kijang, Bintan, tambahnya.

Ia juga mengatakan, besok Minggu Pemerintah Malaysia rencananya juga akan mengusir TKI/WNI bermasalah dari Malaysia sebanyak dua kali.

"Biasanya Pemerintah Malaysia mengusir TKI/WNI bermasalah pada hari kerja, mungkin karena mau lebaran jadi hari Minggu juga dilakukan pemulangan," ujarnya.(ant) www.suaramedia.com

Penderaan TKI: Tangani Sebaiknya Menurut Jalur Hukum

Penderaan TKI: Tangani Sebaiknya Menurut Jalur Hukum
By Anwar Ibrahim

Sahabat karib saya dari Jakarta menelefon menyesali sikap membisu saya berdepan dengan pendedahan kes penderaan terhadap pekerja Indonesia. Teguran ikhlas teman tersebut diterima baik.

Namun perlu dijelaskan bahawa secara konsisten saya lantang sekali membicara nasib Tenaga Kerja termasuk dari Indonesia (TKI) atau ungkapan pemerintah Malaysia Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) dan Pekerja Asing (PA).

Lantaran gesaan tegas saya, pimpinan UMNO menuduh saya “anti-nasional”. Seandainya kita pertahankan prinsip keadilan, keluhuran Perlembagaan (UUD) dan negara hukum, maka setiap kes penderaan dan penindasan ditangani sebaiknya menurut jalur hukum.

Persepsi bahawa kita angkuh (arogan) malah mirip mendukung tindakan zalim dan ganas terhadap pekerja agak meluas di Indonesia. Mungkin saja anggapan sademikian keterlaluan.

Namun tidak dapat disangkal dari tindakan perundangan merotan PATI, kenyataan sombong para menteri, tuduhan pencerobohan di perairan Indonesia, layanan buruk malah kes-kes penderaan ke atas warga asing termasuk dari Indonesia, India, Myanmar dan Bangladesh akan memperkukuh gambaran negatif terhadap negara.

Pertama, hukuman rotan (cambok) ke atas pekerja daif tetap dianggap zalim dan tidak berperikemanusiaan. Bayangkan sekiranya pekerja Muslim Algeria di Perancis, atau pelajar Malaysia tanpa visa di England dihukum rotan, hiruk-pikuklah dunia Islam dan kempen boikot barangan Inggeris di Malaysia.

Kedua, kenyataan angkuh yang menyentuh sensitiviti jiran harus diwaspadai. Saya masih ingat peristiwa lagu ‘Rasa Sayang Eh’ dulu! Atau seolah-olah rasuah (korupsi) itu lumrah di Indonesia dan tidak di Malaysia. Pastinya lebih canggih di sini!

Ketiga, isu sempadan dan ketegangan lainnya harus dirunding segera di antara pimpinan kedua negara terlibat.

Dan akhirnya isu penderaan pekerja, kaedah kemasukan dan sindiket agen pekerja, penipuan dan cara mengaibkan mengusir pekerja pulang wajar ditangani dengan lebih telus dan adil. Kita harus akui kecuaian, rasuah malah kelecehan sebahagian agensi penguatkuasaan.

Rakyat Malaysia sendiri mencurigai kecekapan sebahagian pasukan polis manakala gerombolan penjenayah kongsi gelap, ah long, kumpulan samseng atasan terlibat!

Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan memperjuangkan keadilan.

ANWAR IBRAHIM

Bagaimana dengan TKI TKW Indonesia

Bagaimana dengan TKI TKW Indonesia

Malaysia mulai merasakan sindrom ketergantungan pembantu asing saat Indonesia menghentikan pengiriman pekerja migran ke negeri Jiran itu. Pemerintah Malaysia ternyata mengaku sulit menarik minat warga sendiri untuk menjadi pembantu rumah tangga.

Bukannya karena banyak yang tidak mampu, melainkan banyak warga yang tak mau digaji kecil. Demikian ungkap laman harian The Straits Times, Selasa 30 Juni 2009.

Sejak tahun lalu, pemerintah sudah memperkenalkan program pelatihan bagi warga untuk menjadi "manajer rumah." Mereka dijanjikan bisa mendapat penghasilan hingga 2.000 ringgit/bulan (sekitar Rp 5,8 juta). Gaji itu empat kali lebih besar dari rata-rata gaji bulanan pembantu asal Indonesia.

Namun lembaga pelatihan Institut Karisma kepada New Straits Times mengaku bahwa para lulusan kursus menolak sejumlah lowongan kerja. Alasannya, gaji yang ditawarkan terlalu sedikit

"Saya sudah menerima sejumlah permintaan untuk disediakan manajer rumah. Namun calon majikan hanya menawarkan gaji 400 ringgit (sekitar Rp 1,1 juta) per bulan," kata Shah Amirudin Idris, manajer institut.

Dia menilai bahwa manajer rumah merupakan profesi yang lebih tinggi ketimbang pembantu rumah tangga. Namun profesi masih dipandang sama dengan pembantu rumah tangga, padahal itu merupakan pekerjaan terhormat.

Sementara itu Deputi Menteri Tenaga Kerja Maznah Mazlan Senin lalu mengatakan kepada parlemen bahwa, gaji dan kondisi kerja harus diperbaiki demi menarik minat perempuan Malaysia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Mazlan mengungkapkan hasil survei bahwa selama ini hanya 6,7 persen dari rumah tangga di Malaysia yang mau mengeluarkan kocek lebih dari 700 ringgit (sekitar Rp 2 juta) untuk menggaji seorang pembantu rumah tangga.

Sumber: http://id.news.yahoo.com/viva/20090630/twl-mengapa-warga-malaysia-enggan-jadi-p-cfafc46.html

Saudi: TKW Indonesia Dibakar, Dipaksa Makan Tinja Sendiri

Saudi: TKW Indonesia Dibakar, Dipaksa Makan Tinja Sendiri

Postby Adadeh » Wed Jan 14, 2009 5:05 am
TKW Indonesia Dibakar, Dipaksa Makan Tinja Sendiri
January 12, 2009
Putri Prameshwari

Demonstrators are expected to protest outside the Saudi Arabian Embassy in Central Jakarta today after details emerged over the weekend of the alleged shocking abuse of an Indonesian woman during her employment as a domestic worker in Medina last year.

In an open letter to the governments of Indonesia and Saudi Arabia, to be formally presented to the embassy on Jalan M.T. Haryono in Tebet, Human Rights Watch and the Indonesian Migrant Workers Union, or SBMI, detail the alleged abuse of Keni binti Carda by her employers, Khalida, a police officer, and Wafa al-Khuraifi, a doctor.

“The abuse allegedly inflicted by Wafa al-Khuraifi on Keni binti Carda includes repeated burning with an iron, forced ingestion of feces, psychological abuse and application of household cleaners to open wounds,” says the letter, obtained by the Jakarta Globe. “Mrs. al-Khuraifi also poked Keni’s tongue with a knife, pried her teeth loose and forced them down her throat, beat her own children when they tried to protest and threatened Keni with a grisly death if she tried to escape.”

In addition to the beatings and other physical abuse, Keni binti Carda says her employers made her work from 6 a.m. to 3 a.m. each day, physically trapped her in the house and forced her to leave Saudi Arabia before she could seek help from authorities, it says.

In October 2008, Keni alleges Wafa al-Khuraifi took her to the airport and threatened to have Saudi police imprison her if she reported the abuse. As she was wearing an abaya , which completely covered her, fellow travelers and airport officials did not observe her medical condition, the letter says.

“When she arrived in Jakarta, Indonesian officials took her directly to Sukanto Police Hospital, which has a special clinic for the numerous migrant women who return to Indonesia with injuries from abuse while working abroad,” the letter says.

Keni is currently receiving treatment for her extensive injuries. She has impaired vision in one eye, and her flesh is fused together in some places where al-Khuraifi allegedly burned her.

Jamaluddin, the coordinator for advocacy at the migrant workers’ association, said he found Keni in the hospital on Dec. 31. He was critical of the Indonesian government’s response to the alleged torture.

“This might just be the tip of the iceberg for Indonesians working in Saudi Arabia,” he said.

Jamaluddin said that there were around 1.5 million Indonesian migrant workers in Saudi Arabia, almost 80 percent of them women working as domestic servants.

The letter urges Saudi and Indonesian authorities to investigate the case, prosecute the abusers in accordance with international standards and provide financial compensation and appropriate support services to the victim.

The letter also elaborates long-standing concerns about migrant women’s access to the justice system and provided recommendations for key reforms.

“We recognize that both the Saudi and Indonesian governments have taken steps in recent years to begin addressing protection of migrant domestic workers, and we encourage further progress in this direction,” the letter says.

“We hope that both governments will use this opportunity, and the unacceptable abuse and mutilation of Keni binti Carda, to demonstrate that abuse of domestic workers will not be tolerated.”

The letter says that while many domestic workers enjoy satisfactory working conditions in Saudi Arabia, many others, like Keni, face a range of abuses. These include nonpayment of salaries, forced confinement by employers, excessive workloads and, in some instances, physical and sexual abuse. In such cases, migrant women face multiple barriers to seeking redress through the justice system.

“One reason is Saudi Arabia’s kafala [sponsorship] system, which ties migrant workers’ employment visas to their employers,” the letter says. “Under this system, an employer assumes responsibility for a hired migrant worker and must grant explicit permission before the worker can transfer employment or return home.”

The “kafala” system gives the employer immense control. Human Rights Watch has documented numerous cases where workers were unable to escape from abusive conditions because their employers denied them permission to leave the country.

Cuti pembantu rumah tak wajar

Cuti pembantu rumah tak wajar

BEBERAPA akhbar tempatan melaporkan bahawa Jawatankuasa Kerja bagi Pengambilan dan Penempatan Pembantu Rumah Indonesia di bawah Kementerian Dalam Negeri (KDN) telah bersetuju untuk memberi cuti sehari kepada pembantu rumah Indonesia yang bekerja di Malaysia berkuatkuasa selepas Akta Kerja 1955 dipinda, dan juga akan dibenarkan menyimpan pasport sendiri semasa berada di negara ini.

Sebagai seorang yang telah menggaji hampir 10 pembantu rumah Indonesia secara silih berganti sejak tahun 2000, saya berpendapat bahawa keputusan tersebut amat tidak wajar dan perlu dikaji semula. Ini kerana ia akan mengundang pelbagai masalah kepada kedua-dua pihak, majikan dan pembantu rumah berkenaan.

Pembantu rumah bukanlah pekerjaan formal seperti bekerja dengan perusahaan majikan yang berasaskan perniagaan, sebaliknya bekerja di rumah persendirian.

Apakah mereka ini mendapat cuti rehat semasa bekerja sebagai pembantu rumah di negara mereka sendiri?

Sebagai pembantu rumah, mereka disediakan makan minum, tempat tinggal, kemudahan asas (air dan api) secara percuma oleh majikan masing- masing.

Ini tidak termasuk kemudahan lain yang tidak dapat diperincikan berbanding pekerja sektor formal yang terpaksa menanggung sendiri hampir segala-galanya.

Bayangkanlah apa akan terjadi jika seorang pembantu rumah diberi cuti sehari. Sudah pasti dia tidak akan mahu tinggal bersama majikannya pada hari cuti rehat, sebaliknya akan meminta kebebasan untuk membuat apa sahaja, sama ada di rumah atau di luar rumah.

Majikan tidak boleh melarang. Mungkin dia akan keluar rumah awal pagi dan pulang lewat malam. Semasa di luar rumah, dia pasti akan terdedah kepada pelbagai bentuk gejala. Jika berlaku sesuatu musibah di luar rumah, siapakah yang akan bertanggungjawab?

Bagaimana pula nasib pembantu rumah rakyat tempatan? Adakah mereka juga akan diberi cuti rehat sama seperti pembantu rumah Indonesia?

Mengenai kebenaran untuk menyimpan pasport sendiri, ia juga akan mengundang padah. Untuk menggaji seorang pembantu rumah Indonesia bagi tempoh dua tahun, seorang majikan perlu membayar terlebih dahulu lebih kurang RM8,000 dalam bentuk fee dan bayaran pendahuluan sebelum pembantu rumah dihantar kepada majikannya untuk bekerja.

Di samping itu, majikan akan membayar gaji bulanan minimum RM550 selama tidak kurang daripada 18 bulan berjumlah RM9,900. Ini bererti seorang majikan pembantu rumah Indonesia di negara ini perlu membayar RM17,900 untuk menggaji seorang pembantu rumah Indonesia selama dua tahun, suatu jumlah yang tidak sedikit.

Jika pembantu rumah Indonesia dibenarkan menyimpan pasport sendiri, pihak majikan akan menghadapi risiko dan akan mengalami kerugian jika mereka memilih untuk lari daripada majikan sebelum tamat tempoh perkhidmatan.

Sedangkan pasport dalam simpanan majikan mereka boleh melarikan diri, apatah lagi jika menyimpan pasport sendiri.

Dalam pada itu, keluarga majikan akan menghadapi pelbagai trauma yang sukar untuk diperjelaskan akibat pembantu rumah lari. Antaranya, majikan terpaksa menghadapi risiko seperti anak-anak kecil ditinggalkan begitu sahaja berseorangan di rumah.

Bagi majikan yang bekerja, tidak semestinya mereka bercuti pada hari pembantu rumahnya bercuti. Ini adalah berdasarkan pengalaman saya sendiri dan bukan satu cerita rekaan.

Pada hakikatnya mereka diambil bekerja untuk membantu isteri kita, sama ada yang bekerja atau tidak.

Setakat ini tiada sesiapa pun terfikir supaya para isteri kita, terutama keluarga yang tidak mempunyai pembantu rumah, diberi cuti sehari dalam mengurus rumah tangga.

Jadi di manakah letaknya keperluan untuk memberi cuti sehari kepada pembantu rumah yang tidak pun ditakrif sebagai pekerja di bawah Akta Kerja 1955, kecuali di bawah satu bahagian dalam akta itu.

Selain isu-isu tersebut, sudah ada pula ura-ura untuk menetapkan gaji minimum untuk pembantu rumah.

Dalam keadaan ini, mungkin jawatankuasa berkenaan akan menimbangkan pula pelbagai faedah lagi untuk mereka seperti KWSP, cuti am, kerja lebih masa, cuti bersalin, gaji berganda kerana bekerja pada hari cuti umum, bonus tahunan atau mungkin faedah pencen dan faedah yang lain.

Sekiranya terdapat kecenderungan sedemikian, adalah wajar untuk kita mengkaji semula keperluan pembantu rumah Indonesia untuk bekerja di negara ini.

Biasakan diri tak guna amah seberang

Biasakan diri tak guna amah seberang
Jami'ah Shukri

“LEBIH baik kaji naikkan gaji pekerja swasta yang ada serendah RM500 daripada kaji naikkan gaji amah. Jangan terlalu lebihkan orang luar daripada rakyat sendiri.” Itu antara kata-kata diluahkan melalui Rakan BH yang disiarkan akhbar ini semalam.

Ia reaksi kepada tindakan terbaru Kerajaan Indonesia yang mewajibkan setiap majikan di negara ini yang mahu memperbaharui pasport pembantu rumah warganya membayar gaji bulanan sebanyak RM600 berbeza dengan kadar sebelum itu antara RM500 hingga RM550.

Syarat itu termaktub dalam surat perjanjian terbaru antara majikan dan pembantu rumah bagi membolehkan perkhidmatan pembantu rumah digunakan semula. Presiden Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (Papa), Datuk Raja Zulkepley Dahalan, yang mengesahkan perkara itu berkata, bermula 1 Januari lalu, majikan yang mahu memperbaharui pasport pembantu rumah mereka perlu mengikuti syarat itu.

“Sebelum 1 Januari 2009, kadar gaji pembantu rumah antara RM500 hingga RM550 dan berikutan ketetapan yang dibuat itu, mana-mana majikan yang mahu meneruskan perkhidmatan pembantu rumah itu perlu membayar gaji bulanan RM600,” katanya.

Bagaimanapun, Menteri Sumber Manusia, Datuk Dr S Subramaniam, berkata beliau tidak tahu mengenai syarat itu kerana tidak pernah dibangkitkan dalam memorandum persefahaman (MoU) antara Malaysia dan Indonesia, tetapi berjanji akan menyiasatnya secara terperinci.

Pengumuman terbaru itu muncul ketika isu menaikkan gaji pembantu rumah kepada RM800 sebulan masih hangat diperkatakan, selepas Duta Indonesia ke Malaysia, Tan Sri Dai Bachtiar membuat saranan itu di depan 400 pekerja Indonesia, ketika majlis berbuka puasa, minggu lalu.

Subramaniam menyangkal syor kenaikan itu dan menegaskan tiada perbincangan berkaitannya dalam MoU antara Malaysia dan Indonesia yang ditandatangani pada 2007.

Bagaimanapun, Indonesia sudah melangkaui syarat perjanjian itu. Malah, mewajibkan majikan yang mahu memperbaharui pasport pembantu rumah warga negara itu membayar gaji bulanan RM600, berbeza kadar sebelum ini antara RM500 hingga RM550 sebulan.

Dalam tempoh jangka panjang, tindakan Indonesia itu nampak bijak kerana sejak Januari lalu, majikan dan pembantu rumah perlu menandatangani perjanjian bersetuju membayar RM600 sekiranya ingin menyambung khidmat mereka, tanpa menunggu struktur harga baru ditetapkan dalam MoU antara Kerajaan Malaysia dan Indonesia.

Persoalannya wajarkah tuntutan gaji baru sehingga RM800. Hakikatnya tindakan Indonesia sekarang dianggap sudah melampau dan menggambarkan sikap negara itu yang semakin ‘besar kepala’.

Tiada alasan relevan republik itu perlu menaikkan gaji amah kerana bukan saja, kadar tetap belum dicapai dalam MoU antara Malaysia dan Indonesia yang ditandatangani pada 2007, malah secara logiknya dalam situasi pasaran Malaysia, tuntutan gaji RM800 terlalu tinggi.

Raja Zulkepley bagaimanapun berpendapat kenaikan gaji RM600 dianggap munasabah dengan keadaan pasaran di negara ini, berbanding kadar RM800 yang disyorkan sebelum ini agak tinggi.

Katanya, ini tidak mencerminkan keadaan pasaran di negara ini, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, Hong Kong atau Asia Barat.

Baginya, rata-rata kualiti dan prestasi pembantu rumah dari Indonesia adalah kalangan mereka yang tidak berkemahiran sehingga menimbulkan rasa tidak puas hati dan sungutan majikan.

“Pada prinsipnya, gaji dicadangkan tidak sesuai dilaksanakan pada masa ini berdasarkan faktor berkenaan. Tetapi, bagi saya tuntutan kenaikan gaji munasabah ialah antara RM500 hingga RM600 sebulan.

“Kerajaan Indonesia tidak sepatutnya membandingkan gaji ditetapkan di Hong Kong dan negara Asia Barat sehingga mencecah RM1,700 sebulan kerana suasana pasaran mereka berbeza dengan taraf hidup lebih tinggi.

“Walaupun kadar gaji di Malaysia jauh lebih rendah, pembantu rumah mendapat pendapatan bersih dengan segala keperluan harian, tempat tinggal, makan dan minuman diberi percuma, berbanding negara lain menerima pendapatan kasar saja (pekerja kena menanggung kos makan, pakaian dan keperluan lain),” katanya.

Bagaimanapun, Zulkepley berkata, kemelut pembantu rumah itu perlu dibincangkan secara terperinci dengan menetapkan gaji yang bersesuaian dengan pasaran negara ini.

Sebagai langkah jangka panjang, katanya, kerajaan juga perlu menangani kemasukan warga asing secara haram dan ejen pembantu rumah individu untuk mengelak masalah sampingan lain seperti kewujudan sindiket haram, pembantu rumah lari dan masalah sosial.

“Kerajaan kena tegas dan haramkan pembantu yang melarikan diri bekerja dengan majikan lain serta mana-mana premis seperti restoran, juru jual dan sebagainya. Jika ini dibuat, isu pekerja warga asing yang tidak berkualiti akan dapat diselesaikan,” katanya.

Sementara itu, Pengarah Eksekutif Persekutuan Majikan Malaysia (MEF), Shamsuddin Bardan, menganggap tindakan Kerajaan Indonesia itu melampau dan tidak setara dengan kualiti perkhidmatan disediakan kerana rata-rata pembantu yang dihantar ke sini adalah dari Gred E.

Katanya, berdasarkan kualiti perkhidmatan diberikan itu sewajarnya kadar sekarang kekal.

“Kita yakin isu kenaikan gaji ini tidak akan berkesudahan. Tuntutan kenaikan itu tidak terhenti di sini. Lambat laun gaji pembantu rumah ini tetap akan dinaikkan kerana permintaan yang tinggi dari Malaysia terhadap sektor pembantu rumah ini.

“Apa yang kita lihat, pembantu rumah Indonesia yang datang ke sini dari Gred E. Ini menyebabkan banyak masalah timbul. Tahap profesionalisme mereka juga rendah," katanya.

Oleh itu, katanya, Malaysia sepatutnya memboikot pengambilan pembantu rumah dari warga negara Indonesia sebagai pengajaran kepada republik itu.

Thursday, September 3, 2009

Dapat cuti dan simpan pasport


KUALA LUMPUR - Malaysia dan Indonesia bersetuju untuk membenarkan pembantu rumah Indonesia diberi cuti sehari dalam seminggu, dan mereka juga dibenarkan menyimpan pasport sendiri semasa berada di negara ini.

Keputusan itu dicapai pada mesyuarat ketiga Jawatankuasa Kerja bagi Pengambilan dan Penempatan Pembantu Rumah Indonesia yang diadakan di sini pada 20 Ogos lepas, menurut kenyataan Kementerian Dalam Negeri yang dikeluarkan di sini semalam.

Delegasi Malaysia ke mesyuarat itu diketuai oleh Ketua Setiausaha kementerian itu, Datuk Seri Mahmood Adam.

Mesyuarat jawatankuasa itu juga bersetuju bahawa penguatkuasaan cuti tersebut akan berkuat kuasa setelah Akta Kerja 1955 dipinda, katanya.

Sementara itu, mesyuarat itu juga bersetuju bagi pembantu rumah yang melarikan diri daripada majikan, pas lawatan kerja sementaranya akan dibatalkan serta-merta dan mereka tidak dibenarkan masuk semula ke Malaysia bagi tujuan pekerjaan, katanya. - Bernama

Tuesday, September 1, 2009

Dua TKW Pulang ke Tanah Air Penuh Luka

Dua TKW Pulang ke Tanah Air Penuh Luka

Senin, 24 Agustus 2009 17:11 WIB
Cianjur (ANTARA News) - Siti Maskinah binti Karyo dan Fisca Fiscenia binti Rudiman, dua orang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Cianjur, pulang dengan kondisi tubuh penuh luka yang diduga akibat disiksa majikan selama bekerja di Arab Saudi.

Siti Maskinah (30) adalah warga Kampung Kopo, Desa Sukamanah, Kecamatan Karangtengah, Cianjur, sedangkan Fisca Fiscenia binti Rudiman (23), warga Kampung Cijedil, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Cianjur.

Siti Maskinah berangkat menjadi TKW dengan tujuan Arab Saudi melalui jasa Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT. Bajri Putra Mandiri yang beralamat di Jalan Bungur Nomor 4 RT 09/06, Kampung Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur.

Ia berangkat pada 29 April 2008 untuk bekerja pada Mahir Abdul Muhsin Al Abdul Karim. Sejak awal bekerja, ia sudah diperlakukan kasar oleh majikan perempuannya, bahkan sering gara-gara hal sepele.

"Korban sempat disiram air panas oleh majikannya. Akibatnya sebagian besar kulit tubuhnya melepuh," kata Supriadi kuasa hukum korban, Senin.

Selain mendapatkan siksaan, saat dipulangkan gaji korban selama satu tahun tidak dibayar sepenuhnya.

Sementara Fisca terpaksa angkat koper dari rumah majikannya sebelum habis masa kontrak kerja sebagai pembantu rumah tangga karena wanita berparas ayu itu sudah tidak tahan bekerja di rumah majikannya karena sering diperlakukan kasar.

Ia pulang dalam kondisi babak belur, seluruh tubuhnya terlihat lebam, dan seperti halnya Siti Maskinah, Fisca juga dipulangkan dengan gaji yang tidak penuh.

Mereka berdua lalu memilih jalur hukum untuk mendapatkan haknya kembali dengan mengadukannya kepada Supriyadi SH dan Patner.

"Kami akan berupaya agar hak kedua klien kami ini dapat kembali dan pihak sponsor yang memberangkatkan harus bertanggungjawab," kata Supriyadi. (*)

* Untuk maklumat kes deraan pembantu rumah indonesia bukan berlaku sahaja di Malaysia tetapi dimana-mana dan kes di Malaysia adalah hanya sebahagian kes kecil sahaja dan dilakukan oleh majikan bukan Islam...jadi rakyat Indonesia tidak wajar membuat tuduhan yang berat kepada Saudara SeAgama kerana Indonesia dan Malaysia dan rumpun bangsa yang sama. Cadangan adalah, pohon Pemerintah Indonesia hanya hantar PRT Muslimah kepada majikan Muslim di Malaysia.

Saturday, August 29, 2009

Malaysia, Indonesia to review foreign workers agreement


Malaysia, Indonesia to review foreign workers agreement

PUTRAJAYA: Both Malaysia and Indonesia will undertake a review of the memorandum of agreement signed 11 years ago on the terms and service of foreign workers.

Human Resources Datuk Dr S. Subramaniam said a joint committee would be set up between the two countries in order to look into some of the provisions and make these more in line with current practices and labour costs. “The basic principle behind the MOU on foreign workers with Indonesia will remain but we may have to look into matters such as fee structure for agents, which has more than doubled in sum since the signing.

“Due to the current labour situation, some of the existing provisions have become unclear. If possible, we may have to amend these,” he told reporters after a 45-minute meeting with Indonesian Manpower Minister Erman Suparno at his office on Friday.

There are presently some 2.2mil foreign workers in the country, out of which about 1.2mil are from Indonesia.

Subramaniam said he also explained to the minister about the ministry’s plan to come out with a guideline on employers keeping their foreign workers’ passports, a proposed amendment to the Employment Act to provide protection to domestic maids as well as complaints of abuses by unscrupulous bosses.

On the guideline on passports, he said this was now in the last stages of preparation and would make employers more responsible towards their foreign workers.

“For instance, they will have to sign an agreement with their workers on holding the passports and they must also ensure that any renewal to their workers’ visas, permits or even passports be done promptly,” he said.

Subramaniam said he hoped to table the proposal to amend the Employment Act, which would include domestic maids in the list of workers eligible for compensation, during this Parliament’s meeting.

“I also gave my guarantee to the minister that Indonesian workers are free to lodge complaints with our Manpower Department if they feel they have been abused or cheated,” he said.

On the social problems posed by Indonesian workers, Subramaniam said both he and the minister agreed on better cooperation with each other and with other agencies to curb these.

“Most of the problems are created by illegal workers,” he said.

Indonesian maids for Muslim employers only

Indonesian maids for Muslim employers only

KUALA LUMPUR, June 19 — The government and the relevant agencies in Malaysia have been urged to ensure that Muslim Indonesian maids are placed with Muslim employers only.

Bocehe Dewe Association chairman Ambar Setiowibowo who made the call said this could help end maid abuse since normally the problem relates to differences in language, culture and religion.

“If possible, Muslim maids are placed with Muslim Malay employees. This should take precedence now.

“If this is not possible, a condition should be imposed that the maids are allowed to perform their religious duties like prayers and fasting and are not told to do something that goes against their religious belief,” he told Bernama.

“Bocehe Dewe” in Java means “group for youths only” and it is a social network formed in 2001 to help all Indonesian workers in Malaysia.

Ambar came up with the suggestion after Siti Hajar Sadli, 33, from Garut in West Java was believed to have been abused by her employer since three years ago. She was also said to have been given pork to eat.

Her single mother employer Hau Yuan Tyng has been charged at the Kuala Lumpur Sessions Court and pleaded not guilty to causing her grievous hurt.

Presently, the Immigration Department allows foreign Muslim maids to work for non-Muslim employers.

Malaysian Association of Foreign Maid Agencies (PAPA) president Datuk Raja Zulkepley Dahalan said about 80 per cent of employers of 320,000 legal foreign maids in the country were non-Muslims.

Most foreign maids came from Indonesia, the Philippines, Vietnam, Cambodia, Sri Lanka and Thailand with a small number coming from China.

From the total, 270,000 are Indonesians and most of them are Muslims.

Raja Zulkepley said this explains why most abuse cases reported involved non-Muslim employers bent on recruiting maids individually or using illegal employment agencies.

“Most of the Indonesian maid abuse cases, especially those involving the Muslims, started from communication breakdown resulting from language, culture and religion differences,” he said.

Raja Zulkepley said there were also cases where maids were forced to do something else like washing the car and looking after the shop.

“PAPA’s suggestion is for more maids from China to be brought in to solve the different religion and culture problem. With this, food, language and religion issues will not arise again,” he said, adding that the agencies have the capability in handling the recruitment of maids from China if allowed by the government.

PAPA also calls for a ban on individual recruitment of foreign maids because it believes that this is the source of the abuse problem.

Presently, foreign maids can be brought in by agencies registered with the Manpower Department and the Immigration Department, and individually by the employers.

According to PAPA estimates, however, there are 150,000 illegal foreign maids including those brought in by illegal employment agencies.

The Bocehe Dewe Association agreed that the activities of illegal maid agencies in both Malaysia and Indonesia should be stopped.

“In my opinion, the preliminary step should start in Indonesia, to check these illegal agencies. The management of Indonesian manpower should be made through legal means with sufficient training and all,” said Ambar.

He said both governments could also sign a memorandum of understanding to allow employment agencies to visit their maids on regular basis to monitor their condition directly.

“It all depends on the governments of the two countries. Where there is a will there is a way. The solution is there,” he said. – Bernama

Soal TKI di malaysia

Soal TKI di Malaysia
Fadliyanto
Wed, 08 Jul 2009 22:31:33 -0700

Harusnya dari dulu begini. Jadi TKI punya bargaining power dan lebih
terlindungi. Mudah-mudahan pejabat KBRI di kuala lumpur bisa makin bagus.
Jangan korupsi lagi kayak dulu. Udah jadi TKI susah, di kompas pula sama
pejabat KBRI. Emang layak banget tuh Rusdihardjo masuk bui.

BTW, kenapa Dubes RI di Malaysia mantan Kapolri lagi ya...?

*KOMPAS.com *— Pesawat Malaysia Airlines yang membawa delegasi Indonesia
mendarat di Kuala Lumpur International Airport, Sepang, Minggu (5/7), tengah
malam. Pejabat KBRI Kuala Lumpur yang menjemput membawa Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Erman Suparno dan rombongan ke gedung VIP bandara.

Dua pejabat Kementerian Sumber Manusia Malaysia menyambut delegasi RI di
sana. Terjadi perbincangan tertutup selama 30 menit.

”Baru kali ini ada pejabat Malaysia menyambut kami di bandara. Bahkan,
mereka juga menawarkan memberi akomodasi yang dengan halus kami tolak karena
sudah disediakan KBRI. Hal ini belum pernah terjadi,” ujar seorang pejabat
anggota delegasi RI keesokan harinya.

Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar saat sarapan pagi di hotel di
kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, mengatakan, pejabat-pejabat Malaysia
terus memintanya untuk membujuk Jakarta agar mencabut moratorium TKI
informal.

Tekanan dalam negeri

Harian *The Star* terbitan Minggu (5/7) mengungkapkan, agen pembantu dan
calon majikan di Malaysia terancam merugi 10 juta ringgit (sekitar Rp 30
miliar) bila Indonesia tidak segera mencabut moratorium. Wakil Presiden
Persatuan Agen Pekerja Asing (PAPA) Malaysia Jeffrey Foo mengatakan, PJTKI
menahan dana jaminan yang sudah dibayar agen dan calon majikan di Malaysia
dengan dalih tidak bisa mengirim pembantu karena sedang moratorium.

PAPA mendesak Pemerintah Malaysia untuk memaksa Pemerintah Indonesia
membantu pencairan kembali dana tersebut dari PJTKI. Foo mengklaim, banyak
agen pekerja asing di Malaysia terancam bangkrut bila tidak segera
mendapatkan kembali dana mereka.

Calon majikan harus membayar jaminan sedikitnya 2.500 ringgit (sekitar Rp
7,5 juta) kepada agen pembantu asing di Malaysia untuk mendapatkan biodata
pembantu. Apabila setuju, majikan harus membayar komisi agen sedikitnya
6.000 ringgit (Rp 18 juta) untuk mendapatkan pembantu dari Indonesia, naik
dari sebelumnya 3.500 ringgit (Rp 10,5 juta) per orang.

Aktivis Migrant CARE Malaysia Alex Ong mengungkapkan, pemerintah harus
menghapus ”perdagangan” biodata yang selama ini terjadi. Agen pekerja di
kedua negara memiliki kekuasaan penuh dalam kartel ini.

Para majikan yang sudah telanjur membayar kepada agen pun kini resah. Mereka
sudah membayar, tetapi tak kunjung mendapat kabar kedatangan pembantu dari
Indonesia.

*Pasar TKI ilegal*


Hal ini membuat Malaysia berusaha merayu Indonesia agar segera mencabut
moratorium. Kedekatan wilayah membuat arus migrasi WNI ke Malaysia, baik
untuk bermukim, belajar, maupun bekerja, sangat tinggi.

Saat ini, sedikitnya 2,2 juta TKI berada di Malaysia. Dari jumlah itu, hanya
1,2 juta orang yang tercatat resmi dan satu juta orang lagi bekerja tanpa
punya dokumen resmi sehingga rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Jumlah TKI di Malaysia bakal terus naik karena sedikitnya
3.000 TKI resmi berangkat ke Malaysia setiap bulan.

Jumlah TKI ilegal diperkirakan hampir sama karena begitu banyak pintu masuk
ke Malaysia dan kemudahan imigrasi dengan sistem visa kunjungan 30 hari. Ada
yang modal nekat masuk ke Malaysia lalu mencari pekerjaan secara diam-diam.
Ada pula calo dari Malaysia yang khusus menjemput mereka ke Indonesia.
Terakhir adalah lewat prosedur resmi berangkat ke Malaysia, tetapi izin
kerja baru diurus setelah para TKI tiba di tempat penampungan agen Malaysia.

Begitu besarnya jumlah TKI ilegal di Malaysia karena tingginya permintaan.
Banyak majikan di Malaysia yang membutuhkan pekerja asing bergaji murah dan
penurut. Mereka mempekerjakan pembantu dari Indonesia dengan standar upah
Indonesia.

Mereka yang bekerja di Semenanjung Malaysia rata-rata bergaji 400-500
ringgit (Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta) per bulan. TKI yang bekerja di Sarawak dan
Sabah lebih menyedihkan, hanya bergaji 200-300 ringgit (Rp 600.000-Rp
900.000) per bulan.

Untuk pekerja konstruksi, TKI kerap diupah 30-35 ringgit dari normalnya 55
ringgit per hari. Karmadi, pekerja konstruksi di Kampung Pandan, Kuala
Lumpur, mengungkapkan, mereka juga sering menerima gaji kurang karena sistem
pembayaran dua bulan sekali.

Penderitaan TKI tidak hanya soal gaji. Mereka terkadang juga tidak
memperoleh kondisi kerja yang baik. Misalnya, tidur beralas kasur busa tipis
tanpa dipan di kamar tanpa ventilasi, deskripsi tugas yang tidak jelas, jam
kerja sejak subuh sampai dini hari, dan tanpa libur. Belum lagi penganiayaan
fisik dan mental lewat kata-kata kasar majikan.

Fakta-fakta ini yang kemudian mendorong pemerintah memutuskan moratorium
penempatan TKI informal ke Malaysia. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Erman Suparno mengumumkannya didampingi Dubes RI untuk Malaysia Da’i
Bachtiar dan Atase Ketenagakerjaan di Kuala Lumpur, Teguh Heru Cahyono, di
Jakarta, Kamis (25/6).

*Masalah kemanusiaan*

Namun, Pemerintah Malaysia ternyata memandang pelanggaran hak asasi manusia
TKI tak lebih sebagai statistik. Dalam pertemuan bilateral delegasi RI
dipimpin Erman Suparno dan delegasi Malaysia dipimpin Menteri Sumber Manusia
S Subramaniam di Putra Jaya, Selangor, Senin (6/7), Wakil Menteri Dalam
Negeri Malaysia Wira Abu Seman Yusop, penganiayaan TKI oleh majikan hanya
0,05 persen dari 300.000 pembantu RI di Malaysia.

”Saya sampaikan ke Pemerintah Malaysia, ini bukan soal jumlah kasus. Kami
ingin perbaikan mendasar berlandaskan perikemanusiaan,” kata Erman di Kuala
Lumpur, Selasa. ”Semakin cepat revisi MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai, tentu menguntungkan Indonesia dan Malaysia. Kami dapat
mencabut moratorium bila keinginan terpenuhi dengan MoU,” ujar Erman.

Pemerintah memang sudah mulai bersikap tegas menghadapi mulut manis
Malaysia. Namun, moratorium sampai MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai belum cukup.

Pemerintah juga harus konsisten membenahi berbagai masalah TKI di dalam
negeri. Mulai dari perekrutan sampai pungutan liar terhadap TKI yang pulang
ke Tanah Air.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusjdi Basalamah meminta
pemerintah menyediakan calon TKI yang siap pakai sehingga PJTKI fokus
mencari pasar kerja dan menempatkan mereka.

Sudah saatnya pemerintah juga memakai pendekatan kemanusiaan dalam melayani
buruh migran. Mereka bukan sekadar mesin pencari uang remitansi puluhan
triliun rupiah yang kadang harus menggadaikan nyawa demi menggerakkan
perekonomian bangsa. Mereka adalah manusia yang terpaksa bekerja ke luar
negeri mengejar kesejahteraan yang belum disediakan sepenuhnya di dalam
negeri.

TKI Lagi ke Malaysia Awal Agustus


TKI Lagi ke Malaysia Awal Agustus
1 Jul 2009

tkiMenteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno berjanji akan segera mencabut penghentian sementara penempatan TKI ke Malaysia mulai 1 Agustus 2009. Namun hal itu amat bergantung pada gasil pembicaraan tentang review MoU tahun 2006. “Ini jika pembicaraan kelompok kerja Indonesia dan Malaysia berjalan lancar,”kata Erman seusai peresmian Sragen Technopark di Sragen (30/6).

Erman menegaskan bahwa saat ini masih dalam tahap pelarangan TKI ke Malaysia. Dia meminta agen TKI untuk tidak nekat mengirim. “Kalo ada yang nekat akan diusut. Sanksinya bagi yang legal akan dicabut ijinnya. Kalau agensinya illegal, kepolisian yang akan mengatasi.,” tegasnya.

Saat ini sedang diupayakan pertemuan dengan menteri terkait Malaysia seperti Menteri Sumber Daya Manusia dan Menteri Dalam Negeri. Dia mengaku mengajukan permintaan untuk bertatap muka pada 5,6 atau 7 Juli 2009 untuk merancang pembicaraan tentang revisi Memorandum of Understanding terkait pengiriman TKI ke Malaysia. “Saya mengharapkan pertengahan Juli ini pembicaraan secara intensif sudah dimulai. Jika berjalan lancar dan bisa selesai dalam dua minggu, maka mulai 1 Agustus kita sudah bisa mengirim TKI lagi ke Malaysia,” tuturnya.

Dalam pembaruan MoU, ada beberapa hal yang harus dipenuhi Malaysia. Pertama, paspor harus dipegang TKI. Kedua, majikan yang melakukan tindakan kriminal termasuk penyiksaan dan tidak membayarkan gaji, untuk dihukum secara tegas. “Majikan yang menggunakan tenaga kerja ilegal juga termasuk melakukan perbuatan kriminal,” tambahnya. Kemudian, dia meminta ada hak libur satu hari dalam seminggu dan hak cuti. Juga adanya hak kenaikan gaji secara regular. “Ini yang akan diperjuangkan. Sebetulnya tinggal yang itu karena yang lainnya sudah,” terangnya.

Sebaliknya Malaysia memandang keputusan Pemerintah Indonesia untuk melakukan penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia, sebagai keputusan yang emosional. Menurut koran The Strait Times (30/6), keputusan ini diambil sebagai bagian emosional dari pengaruh politik menjelang pemilihan presiden, 8 Juli mendatang. Menteri Tenaga Kerja Malaysia S. Subramaniam mengatakan kasus boikot pengiriman TKI ini telah menjadi bagian dari isu politik menjelang pemilihan presiden mendatang. “Mereka sedang menghadapi pemilihan umum, sehingga isu seperti ini menjadi terasa sangat emosional,”ujar Subramaniam kepada AFP.

Ia percaya keputusan boikot ini hanya akan menjadi isu sementara saja, dan sesudah pemilu presiden, semua akan kembali normal. “Tetapi jika boikot itu berlanjut, kami akan mencari pasar yang lain,”ujar Subramaniam. Ia juga mengatakan Malaysia kini tengah mencari tenaga kerja pembantu rumah tangga dari negara-negara lain, termasuk tenaga kerja dari kalangan Muslim yang berasal dari Philipina Selatan.

Sebuah agen pembantu rumah tangga di Malaysia telah melaporkan sekitar 50 ribu – 60 ribu pekerja rumah tangga Muslim dari Philipina Selatan telah didatangkan untuk menggantikan posisi para pekerja rumah tangga dari Indonesia, menyusul pengumuman penghentian sementara pengiriman TKI oleh pemerintah Indonesia.

“Kami menyambut dengan senang hati pekerja rumah tangga dari Muslim Philipina,” ujar Subramaniam. “Pekerja rumah tangga dari Philipina datang disini berdasarkan perjanjian kerjasama tenaga kerja yang telah ditandatangani antara pemerintah Malaysia dan pemerintah Philipina, apakah mereka Muslim atau Kristen kami tidak membedakan-bedakan,” ujar Subramaiam.

Penyelesaian hukum kasus TKI dipandang masih sangat kurang jika dibanding dengan banyaknya kasus penyiksaan pembantu rumah tangga Indonesia di Malaysia. Malaysia dikenal tidak mempunyai undang-undang yang mengatur dan melindungi tenaga kerja domestik seperti pembantu rumah tangga dan pekerja informal lain, tetapi mengatakan kini tengah merencanakan untuk membuat undang-undang perlindungan pekerja domestik.

Data dari pemerintah Malaysia melaporkan rata-rata ada 50 kasus pelecahan dan penyiksaan pekerja rumah tangga per tahun dari 300.000 pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja di negara tersebut. Tetapi data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia mengatakan per tahun ada 1.000 kasus penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap para pembantu rumah tangga asal Indonesia. *

Malaysia Black List 19 Agen TKI dan 4096 Majikan

Malaysia Black List 19 Agen TKI dan 4096 Majikan

KESRA--4 JULI: Kasus penganiayaan Ceriyati membawa hikmah baik bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Malaysia. Akibat kasus itu, Pemerintah Malaysia mencabut izin operasi sebuah agen pengalur, serta mencabut sementara 19 agen lainnya.

"Selain itu, ada 4.096 majikan yang juga masuk black list tidak boleh mempekerjakan TKI untuk pembantu rumah tangga. Itu dilakukan setelah Pemerintah Indonesia mendesakkan sejumlah fakta penganiayaan,'' kata Atase Ketenagakerjaan Kedubes Indonesia di Kualalumpur Teguh Hendro Cahyono, Selasa (3/7).

Didampingi Kepala Biro Penerangan Kedubes Eka Suripto, dia mengatakan kasus Ceriyati memang semakin membuka mata hati Pemerintah Malaysia untuk lebih memperhatikan tenaga kerja sektor informal tersebut. Sebab jumlahnya lebih dominan dibandingkan tenaga formal.

''Ini kemajuan yang luar biasa, sebab beratus-ratus kasus terjadi, tidak pernah menggoyahkan opini publik di Malaysia tentang perlakuan kejam mereka kepada PRT. Namun ternyata kasus ini lain. Ini menjadi momentum berbenah bagi mereka dalam menangani kasus tenaga kerja informal,'' kata Eka.

Dihubungi di sela-sela sosialisasi bekerja aman di Malaysia, yang dilaksanakan di Pendapa Rumah Dinas Bupati Karanganyar, Eka mengatakan tidak saja mem-black list sejumlah agen dan majikan. Pemerintah Malaysia juga akan membuat undang-undang yang mengatur tenaga kerja informal.

''Selama ini yang sudah diatur tenaga kerja formal. Nah, PRT tidak ada, karena itu wajar kalau tidak pernah mendapatkan perlindungan sepadan. Ini sudah maksimal desakan dari Pemerintah Indonesia melalui Kedubes RI di Kualalumpur.''

Karena itu, Pemerintah Indonesia berharap undang-undang yang mengatur sektor informal itu segera bisa diselesaikan. Jika aturan itu sudah ada, diyakini kasus penganiayaan PRT akan semakin kecil.

''Memang, kita tidak bisa mengatur kapan undang-undang itu diselesaikan. Ibaratnya UU soal traficking yang baru selesai dibahas dan diundangkan dua tahun, nantinya juga seperti itu. Tapi adanya itikad membuat UU itu sudah cukup maju,'' kata dia.

Tentang bebasnya majikan Ceriyati dari jeratan hukum, Eka mengatakan, yang sebenarnya terjadi bukan dibebaskan. Namun menurut perundangan di Malaysia, seseorang yang didakwa menganiaya diperbolehkan memperoleh pembebasan (tahanan kota) setelah tujuh hari dipenjara. Tentu dengan sejumlah uang jaminan.

''Itu bisa terjadi, dan kita tidak bisa apa-apa, karena begitulah undang-undang yang ada di sana. Namun majikan itu tidak bebas. Malah dia termasuk yang diblack list tidak boleh mempekerjakan PRT,'' kata dia.

Begitu pula soal komentar Menteri Penerangan Malaysia bahwa kasus penganiayaan TKI hanya tidak sampai 1 % dibandingkan jumlah TKI yang bekerja di Malaysia, Eka bisa memaklumi.

''Yang berkembang memang berita negatif saja. Padahal TKI yang aman-aman saja dan berhasil, jumlahnya jauh lebih besar. Tapi itu sama juga yang terjadi di Malaysia."

"Berita meningkatnya kriminalitas juga dituduhkan kepada TKI sebagai penyebab. Padahal setelah didata, dari 43.000 kasus dalam setahun, yang dilakukan warga asing hanya 2.600, di antaranya dari Indonesia. Itu juag yang ditonjolkan media Malaysia. Jadi kalau mau berimbang, mestinya tidak hanya media Indonesia saja, tapi juga media di Malaysia harus ditertibkan," katanya. (cn/broto)

Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal


Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal
Selasa, 4 Agustus 2009 05:14 WIB | Peristiwa | Naker | Dibaca 290 kali
Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal
Agen TKI/ilustrasi (ANTARA)@
Karawang (ANTARA News) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Karawang kesulitan menangani agen atau sponsor tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang mulai marak di Karawang, karena agen tersebut berkantor di Jakarta.

Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja, Bidang Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja, Disnakertrans Karawang, Tatang Jumhana, mengaku tidak bisa menutupi adanya praktik perekrutan TKI di Karawang oleh agen dan sponsor ilegal.

"Agen TKI ilegal itu kemungkinan memang ada. Tapi kami sulit mengontrolnya. Jadi, kami harapkan adanya kontrol dari masyarakat," katanya, di Karawang, Senin.

Dikatakannya, untuk mengantisipasi maraknya agen atau sponsor TKI ilegal di Karawang, pihaknya hanya bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat Karawang. Dengan demikian masyarakat Karawang yang berencana menjadi TKI bisa mengetahui agen yang ilegal dan yang legal.

"Kami juga berharap kepada aparat desa dan kecamatan se-Karawang agar lebih teliti dalam memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada para calon TKI, karena agen yang ilegal terkadang merekruit calon TKI dibawah umur, dengan memanipulasi KTP," katanya.

Sementara itu, sesuai dengan data Disnakertrans Karawang, jumlah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang terdaftar itu mencapai 170 perusahaan. Namun, PJTKI yang aktif mengirimkan TKI hanya sebanyak 95 perusahaan. (*)

Agen TKI di Malaysia rugi Jutaan Ringgit

Agen TKI di Malaysia Rugi Jutaan Ringgit
Jum'at, 26 Juni 2009 , 21:10:00

KUALA LUMPUR, (PRLM).- Agen penyalur pembantu rumah tangga di Malaysia bersiap mengalami kerugian karena Indonesia akan menghentikan sementara pengiriman pekerja domestik ke negeri jiran.

Penghentian pengiriman tenaga kerja itu, yang akan diterapkan saat dua wakil pemerintahan bertemu awal bulan depan, akan menyebabkan lembaga penyalur tenaga kerja di Malaysia menderita kerugian jutaan ringgit.

"Berdasarkan statistik imigrasi, sekitar enam hingga tujuh pekerja domestik dibawa ke sini oleh agen penyalur tiap bulan," kata Raja Zulkeply Dahalan, presiden Asosiasi Malaysia untuk lembaga penyalur pekerja domestik asing, Jumat (26/6), seperti dikutip dari laman Earthtimes.

Zulkeply mengatakan, puluhan ribu keluarga akan menghadapi masalah berkaitan dengan penundaan pembantu pesanan mereka. Dia mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mencari solusi terbaik.

Terdapat sekitar 320.000 pembantu rumah tangga di Malaysia, sekitar 85 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Kelompok pekerja dan hak asasi manusia menuntut agar peraturan pekerja Malaysia dirombak karena tidak melindungi hak-hak pekerja domestik. Saat ini, pekerja domestik asing tidak diperbolehkan menyimpan sendiri paspor mereka.

"Ada kasus kekerasan tertentu yang harus kita perhatikan, tetapi kedua pihak harus melihat lewat frame yang lebih lebar, dan kedua negara harus siap menghadapi kerugian jika penundaan pengiriman pekerja domestik itu diterapkan," kata Zulkeply.

Awal bulan ini, Malaysia mengumumkan peraturan wajib bagi majikan untuk memberikan satu hari libur tiap pekan bagi pembantu. Bila tidak dilakukan, mereka akan dikenai denda sebesar 10.000 ringgit (US$2.700). (das)***

Berita Tenaga Kerja Indonesia


MALAYSIA TERIMA USUL INDONESIA
TKI di Malaysia Boleh Pegang Paspor Sendiri
KOMPAS/AGUS MULYADI

Senin, 24 Agustus 2009 | 04:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Pemerintah Malaysia menerima proposal yang diajukan Indonesia terkait pelayanan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia, khususnya untuk pembantu rumah tangga, antara lain diizinkannya TKI memegang sendiri paspornya.

Dengan demikian, kartu pengenal TKI yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia, yang selama ini dianggap pengganti paspor, tidak diberlakukan lagi.

Seiring dengan kebijakan itu, Pemerintah Malaysia menegaskan akan memberlakukan sanksi tegas kepada pelanggar hukum, baik TKI maupun majikan yang mempekerjakan TKI ilegal.

Hal itu disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno di Jakarta, Sabtu (22/8). Erman didampingi Kepala Pusat Humas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Sumardoko dan Kepala Biro Hukum Depnakertrans Soenarno.

Perundingan kedua negara terkait masalah TKI itu berlangsung di Malaysia, Kamis pekan lalu. Delegasi RI yang dipimpin pejabat eselon satu Departemen Luar Negeri mengajukan beberapa hal dalam proposal, antara lain TKI memegang sendiri paspornya, ada deskripsi kerja yang tegas, kenaikan dan transparansi gaji, cuti, libur sekali dalam seminggu, perlakuan hukum yang adil, serta penertiban agen pekerja asing nakal di Malaysia.

”Semakin cepat perbaikan MoU (nota kesepahaman) selesai, semakin cepat moratorium dicabut,” kata Erman.

Indonesia membekukan penempatan TKI informal sektor rumah tangga ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 karena banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap TKI di negeri jiran itu. Terakhir, kasus penganiayaan dialami TKI asal Garut, Jawa Barat, Siti Hajar, dan Modesta asal Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 2,2 juta TKI kini bekerja di Malaysia dan satu juta orang di antaranya bekerja tanpa dokumen resmi.

Libur sehari


Selain tentang paspor, Pemerintah Malaysia juga menyetujui TKI di sektor rumah tangga menerima hak libur sehari dalam seminggu dan ketentuan tentang upah minimum. Namun, dua hal itu masih harus dibahas dengan parlemen Malaysia karena menyangkut kebijakan publik.

Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans Abdul Malik Harahap, yang termasuk anggota delegasi RI, menyatakan, hak libur sehari dan upah minimum diharapkan sudah final pada Oktober 2009.

Adapun tentang struktur biaya penempatan TKI, pelaksana penempatan TKI swasta Indonesia dan agen penempatan di Malaysia akan bertemu di Jakarta, 5 September 2009.

Dalam pertemuan itu, RI dan Malaysia sepakat membentuk satuan tugas pengawasan pelayanan dan perlindungan TKI di Malaysia. (ham)