Saturday, August 29, 2009

Malaysia, Indonesia to review foreign workers agreement


Malaysia, Indonesia to review foreign workers agreement

PUTRAJAYA: Both Malaysia and Indonesia will undertake a review of the memorandum of agreement signed 11 years ago on the terms and service of foreign workers.

Human Resources Datuk Dr S. Subramaniam said a joint committee would be set up between the two countries in order to look into some of the provisions and make these more in line with current practices and labour costs. “The basic principle behind the MOU on foreign workers with Indonesia will remain but we may have to look into matters such as fee structure for agents, which has more than doubled in sum since the signing.

“Due to the current labour situation, some of the existing provisions have become unclear. If possible, we may have to amend these,” he told reporters after a 45-minute meeting with Indonesian Manpower Minister Erman Suparno at his office on Friday.

There are presently some 2.2mil foreign workers in the country, out of which about 1.2mil are from Indonesia.

Subramaniam said he also explained to the minister about the ministry’s plan to come out with a guideline on employers keeping their foreign workers’ passports, a proposed amendment to the Employment Act to provide protection to domestic maids as well as complaints of abuses by unscrupulous bosses.

On the guideline on passports, he said this was now in the last stages of preparation and would make employers more responsible towards their foreign workers.

“For instance, they will have to sign an agreement with their workers on holding the passports and they must also ensure that any renewal to their workers’ visas, permits or even passports be done promptly,” he said.

Subramaniam said he hoped to table the proposal to amend the Employment Act, which would include domestic maids in the list of workers eligible for compensation, during this Parliament’s meeting.

“I also gave my guarantee to the minister that Indonesian workers are free to lodge complaints with our Manpower Department if they feel they have been abused or cheated,” he said.

On the social problems posed by Indonesian workers, Subramaniam said both he and the minister agreed on better cooperation with each other and with other agencies to curb these.

“Most of the problems are created by illegal workers,” he said.

Indonesian maids for Muslim employers only

Indonesian maids for Muslim employers only

KUALA LUMPUR, June 19 — The government and the relevant agencies in Malaysia have been urged to ensure that Muslim Indonesian maids are placed with Muslim employers only.

Bocehe Dewe Association chairman Ambar Setiowibowo who made the call said this could help end maid abuse since normally the problem relates to differences in language, culture and religion.

“If possible, Muslim maids are placed with Muslim Malay employees. This should take precedence now.

“If this is not possible, a condition should be imposed that the maids are allowed to perform their religious duties like prayers and fasting and are not told to do something that goes against their religious belief,” he told Bernama.

“Bocehe Dewe” in Java means “group for youths only” and it is a social network formed in 2001 to help all Indonesian workers in Malaysia.

Ambar came up with the suggestion after Siti Hajar Sadli, 33, from Garut in West Java was believed to have been abused by her employer since three years ago. She was also said to have been given pork to eat.

Her single mother employer Hau Yuan Tyng has been charged at the Kuala Lumpur Sessions Court and pleaded not guilty to causing her grievous hurt.

Presently, the Immigration Department allows foreign Muslim maids to work for non-Muslim employers.

Malaysian Association of Foreign Maid Agencies (PAPA) president Datuk Raja Zulkepley Dahalan said about 80 per cent of employers of 320,000 legal foreign maids in the country were non-Muslims.

Most foreign maids came from Indonesia, the Philippines, Vietnam, Cambodia, Sri Lanka and Thailand with a small number coming from China.

From the total, 270,000 are Indonesians and most of them are Muslims.

Raja Zulkepley said this explains why most abuse cases reported involved non-Muslim employers bent on recruiting maids individually or using illegal employment agencies.

“Most of the Indonesian maid abuse cases, especially those involving the Muslims, started from communication breakdown resulting from language, culture and religion differences,” he said.

Raja Zulkepley said there were also cases where maids were forced to do something else like washing the car and looking after the shop.

“PAPA’s suggestion is for more maids from China to be brought in to solve the different religion and culture problem. With this, food, language and religion issues will not arise again,” he said, adding that the agencies have the capability in handling the recruitment of maids from China if allowed by the government.

PAPA also calls for a ban on individual recruitment of foreign maids because it believes that this is the source of the abuse problem.

Presently, foreign maids can be brought in by agencies registered with the Manpower Department and the Immigration Department, and individually by the employers.

According to PAPA estimates, however, there are 150,000 illegal foreign maids including those brought in by illegal employment agencies.

The Bocehe Dewe Association agreed that the activities of illegal maid agencies in both Malaysia and Indonesia should be stopped.

“In my opinion, the preliminary step should start in Indonesia, to check these illegal agencies. The management of Indonesian manpower should be made through legal means with sufficient training and all,” said Ambar.

He said both governments could also sign a memorandum of understanding to allow employment agencies to visit their maids on regular basis to monitor their condition directly.

“It all depends on the governments of the two countries. Where there is a will there is a way. The solution is there,” he said. – Bernama

Soal TKI di malaysia

Soal TKI di Malaysia
Fadliyanto
Wed, 08 Jul 2009 22:31:33 -0700

Harusnya dari dulu begini. Jadi TKI punya bargaining power dan lebih
terlindungi. Mudah-mudahan pejabat KBRI di kuala lumpur bisa makin bagus.
Jangan korupsi lagi kayak dulu. Udah jadi TKI susah, di kompas pula sama
pejabat KBRI. Emang layak banget tuh Rusdihardjo masuk bui.

BTW, kenapa Dubes RI di Malaysia mantan Kapolri lagi ya...?

*KOMPAS.com *— Pesawat Malaysia Airlines yang membawa delegasi Indonesia
mendarat di Kuala Lumpur International Airport, Sepang, Minggu (5/7), tengah
malam. Pejabat KBRI Kuala Lumpur yang menjemput membawa Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Erman Suparno dan rombongan ke gedung VIP bandara.

Dua pejabat Kementerian Sumber Manusia Malaysia menyambut delegasi RI di
sana. Terjadi perbincangan tertutup selama 30 menit.

”Baru kali ini ada pejabat Malaysia menyambut kami di bandara. Bahkan,
mereka juga menawarkan memberi akomodasi yang dengan halus kami tolak karena
sudah disediakan KBRI. Hal ini belum pernah terjadi,” ujar seorang pejabat
anggota delegasi RI keesokan harinya.

Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar saat sarapan pagi di hotel di
kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, mengatakan, pejabat-pejabat Malaysia
terus memintanya untuk membujuk Jakarta agar mencabut moratorium TKI
informal.

Tekanan dalam negeri

Harian *The Star* terbitan Minggu (5/7) mengungkapkan, agen pembantu dan
calon majikan di Malaysia terancam merugi 10 juta ringgit (sekitar Rp 30
miliar) bila Indonesia tidak segera mencabut moratorium. Wakil Presiden
Persatuan Agen Pekerja Asing (PAPA) Malaysia Jeffrey Foo mengatakan, PJTKI
menahan dana jaminan yang sudah dibayar agen dan calon majikan di Malaysia
dengan dalih tidak bisa mengirim pembantu karena sedang moratorium.

PAPA mendesak Pemerintah Malaysia untuk memaksa Pemerintah Indonesia
membantu pencairan kembali dana tersebut dari PJTKI. Foo mengklaim, banyak
agen pekerja asing di Malaysia terancam bangkrut bila tidak segera
mendapatkan kembali dana mereka.

Calon majikan harus membayar jaminan sedikitnya 2.500 ringgit (sekitar Rp
7,5 juta) kepada agen pembantu asing di Malaysia untuk mendapatkan biodata
pembantu. Apabila setuju, majikan harus membayar komisi agen sedikitnya
6.000 ringgit (Rp 18 juta) untuk mendapatkan pembantu dari Indonesia, naik
dari sebelumnya 3.500 ringgit (Rp 10,5 juta) per orang.

Aktivis Migrant CARE Malaysia Alex Ong mengungkapkan, pemerintah harus
menghapus ”perdagangan” biodata yang selama ini terjadi. Agen pekerja di
kedua negara memiliki kekuasaan penuh dalam kartel ini.

Para majikan yang sudah telanjur membayar kepada agen pun kini resah. Mereka
sudah membayar, tetapi tak kunjung mendapat kabar kedatangan pembantu dari
Indonesia.

*Pasar TKI ilegal*


Hal ini membuat Malaysia berusaha merayu Indonesia agar segera mencabut
moratorium. Kedekatan wilayah membuat arus migrasi WNI ke Malaysia, baik
untuk bermukim, belajar, maupun bekerja, sangat tinggi.

Saat ini, sedikitnya 2,2 juta TKI berada di Malaysia. Dari jumlah itu, hanya
1,2 juta orang yang tercatat resmi dan satu juta orang lagi bekerja tanpa
punya dokumen resmi sehingga rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Jumlah TKI di Malaysia bakal terus naik karena sedikitnya
3.000 TKI resmi berangkat ke Malaysia setiap bulan.

Jumlah TKI ilegal diperkirakan hampir sama karena begitu banyak pintu masuk
ke Malaysia dan kemudahan imigrasi dengan sistem visa kunjungan 30 hari. Ada
yang modal nekat masuk ke Malaysia lalu mencari pekerjaan secara diam-diam.
Ada pula calo dari Malaysia yang khusus menjemput mereka ke Indonesia.
Terakhir adalah lewat prosedur resmi berangkat ke Malaysia, tetapi izin
kerja baru diurus setelah para TKI tiba di tempat penampungan agen Malaysia.

Begitu besarnya jumlah TKI ilegal di Malaysia karena tingginya permintaan.
Banyak majikan di Malaysia yang membutuhkan pekerja asing bergaji murah dan
penurut. Mereka mempekerjakan pembantu dari Indonesia dengan standar upah
Indonesia.

Mereka yang bekerja di Semenanjung Malaysia rata-rata bergaji 400-500
ringgit (Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta) per bulan. TKI yang bekerja di Sarawak dan
Sabah lebih menyedihkan, hanya bergaji 200-300 ringgit (Rp 600.000-Rp
900.000) per bulan.

Untuk pekerja konstruksi, TKI kerap diupah 30-35 ringgit dari normalnya 55
ringgit per hari. Karmadi, pekerja konstruksi di Kampung Pandan, Kuala
Lumpur, mengungkapkan, mereka juga sering menerima gaji kurang karena sistem
pembayaran dua bulan sekali.

Penderitaan TKI tidak hanya soal gaji. Mereka terkadang juga tidak
memperoleh kondisi kerja yang baik. Misalnya, tidur beralas kasur busa tipis
tanpa dipan di kamar tanpa ventilasi, deskripsi tugas yang tidak jelas, jam
kerja sejak subuh sampai dini hari, dan tanpa libur. Belum lagi penganiayaan
fisik dan mental lewat kata-kata kasar majikan.

Fakta-fakta ini yang kemudian mendorong pemerintah memutuskan moratorium
penempatan TKI informal ke Malaysia. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Erman Suparno mengumumkannya didampingi Dubes RI untuk Malaysia Da’i
Bachtiar dan Atase Ketenagakerjaan di Kuala Lumpur, Teguh Heru Cahyono, di
Jakarta, Kamis (25/6).

*Masalah kemanusiaan*

Namun, Pemerintah Malaysia ternyata memandang pelanggaran hak asasi manusia
TKI tak lebih sebagai statistik. Dalam pertemuan bilateral delegasi RI
dipimpin Erman Suparno dan delegasi Malaysia dipimpin Menteri Sumber Manusia
S Subramaniam di Putra Jaya, Selangor, Senin (6/7), Wakil Menteri Dalam
Negeri Malaysia Wira Abu Seman Yusop, penganiayaan TKI oleh majikan hanya
0,05 persen dari 300.000 pembantu RI di Malaysia.

”Saya sampaikan ke Pemerintah Malaysia, ini bukan soal jumlah kasus. Kami
ingin perbaikan mendasar berlandaskan perikemanusiaan,” kata Erman di Kuala
Lumpur, Selasa. ”Semakin cepat revisi MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai, tentu menguntungkan Indonesia dan Malaysia. Kami dapat
mencabut moratorium bila keinginan terpenuhi dengan MoU,” ujar Erman.

Pemerintah memang sudah mulai bersikap tegas menghadapi mulut manis
Malaysia. Namun, moratorium sampai MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai belum cukup.

Pemerintah juga harus konsisten membenahi berbagai masalah TKI di dalam
negeri. Mulai dari perekrutan sampai pungutan liar terhadap TKI yang pulang
ke Tanah Air.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusjdi Basalamah meminta
pemerintah menyediakan calon TKI yang siap pakai sehingga PJTKI fokus
mencari pasar kerja dan menempatkan mereka.

Sudah saatnya pemerintah juga memakai pendekatan kemanusiaan dalam melayani
buruh migran. Mereka bukan sekadar mesin pencari uang remitansi puluhan
triliun rupiah yang kadang harus menggadaikan nyawa demi menggerakkan
perekonomian bangsa. Mereka adalah manusia yang terpaksa bekerja ke luar
negeri mengejar kesejahteraan yang belum disediakan sepenuhnya di dalam
negeri.

TKI Lagi ke Malaysia Awal Agustus


TKI Lagi ke Malaysia Awal Agustus
1 Jul 2009

tkiMenteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno berjanji akan segera mencabut penghentian sementara penempatan TKI ke Malaysia mulai 1 Agustus 2009. Namun hal itu amat bergantung pada gasil pembicaraan tentang review MoU tahun 2006. “Ini jika pembicaraan kelompok kerja Indonesia dan Malaysia berjalan lancar,”kata Erman seusai peresmian Sragen Technopark di Sragen (30/6).

Erman menegaskan bahwa saat ini masih dalam tahap pelarangan TKI ke Malaysia. Dia meminta agen TKI untuk tidak nekat mengirim. “Kalo ada yang nekat akan diusut. Sanksinya bagi yang legal akan dicabut ijinnya. Kalau agensinya illegal, kepolisian yang akan mengatasi.,” tegasnya.

Saat ini sedang diupayakan pertemuan dengan menteri terkait Malaysia seperti Menteri Sumber Daya Manusia dan Menteri Dalam Negeri. Dia mengaku mengajukan permintaan untuk bertatap muka pada 5,6 atau 7 Juli 2009 untuk merancang pembicaraan tentang revisi Memorandum of Understanding terkait pengiriman TKI ke Malaysia. “Saya mengharapkan pertengahan Juli ini pembicaraan secara intensif sudah dimulai. Jika berjalan lancar dan bisa selesai dalam dua minggu, maka mulai 1 Agustus kita sudah bisa mengirim TKI lagi ke Malaysia,” tuturnya.

Dalam pembaruan MoU, ada beberapa hal yang harus dipenuhi Malaysia. Pertama, paspor harus dipegang TKI. Kedua, majikan yang melakukan tindakan kriminal termasuk penyiksaan dan tidak membayarkan gaji, untuk dihukum secara tegas. “Majikan yang menggunakan tenaga kerja ilegal juga termasuk melakukan perbuatan kriminal,” tambahnya. Kemudian, dia meminta ada hak libur satu hari dalam seminggu dan hak cuti. Juga adanya hak kenaikan gaji secara regular. “Ini yang akan diperjuangkan. Sebetulnya tinggal yang itu karena yang lainnya sudah,” terangnya.

Sebaliknya Malaysia memandang keputusan Pemerintah Indonesia untuk melakukan penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia, sebagai keputusan yang emosional. Menurut koran The Strait Times (30/6), keputusan ini diambil sebagai bagian emosional dari pengaruh politik menjelang pemilihan presiden, 8 Juli mendatang. Menteri Tenaga Kerja Malaysia S. Subramaniam mengatakan kasus boikot pengiriman TKI ini telah menjadi bagian dari isu politik menjelang pemilihan presiden mendatang. “Mereka sedang menghadapi pemilihan umum, sehingga isu seperti ini menjadi terasa sangat emosional,”ujar Subramaniam kepada AFP.

Ia percaya keputusan boikot ini hanya akan menjadi isu sementara saja, dan sesudah pemilu presiden, semua akan kembali normal. “Tetapi jika boikot itu berlanjut, kami akan mencari pasar yang lain,”ujar Subramaniam. Ia juga mengatakan Malaysia kini tengah mencari tenaga kerja pembantu rumah tangga dari negara-negara lain, termasuk tenaga kerja dari kalangan Muslim yang berasal dari Philipina Selatan.

Sebuah agen pembantu rumah tangga di Malaysia telah melaporkan sekitar 50 ribu – 60 ribu pekerja rumah tangga Muslim dari Philipina Selatan telah didatangkan untuk menggantikan posisi para pekerja rumah tangga dari Indonesia, menyusul pengumuman penghentian sementara pengiriman TKI oleh pemerintah Indonesia.

“Kami menyambut dengan senang hati pekerja rumah tangga dari Muslim Philipina,” ujar Subramaniam. “Pekerja rumah tangga dari Philipina datang disini berdasarkan perjanjian kerjasama tenaga kerja yang telah ditandatangani antara pemerintah Malaysia dan pemerintah Philipina, apakah mereka Muslim atau Kristen kami tidak membedakan-bedakan,” ujar Subramaiam.

Penyelesaian hukum kasus TKI dipandang masih sangat kurang jika dibanding dengan banyaknya kasus penyiksaan pembantu rumah tangga Indonesia di Malaysia. Malaysia dikenal tidak mempunyai undang-undang yang mengatur dan melindungi tenaga kerja domestik seperti pembantu rumah tangga dan pekerja informal lain, tetapi mengatakan kini tengah merencanakan untuk membuat undang-undang perlindungan pekerja domestik.

Data dari pemerintah Malaysia melaporkan rata-rata ada 50 kasus pelecahan dan penyiksaan pekerja rumah tangga per tahun dari 300.000 pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja di negara tersebut. Tetapi data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia mengatakan per tahun ada 1.000 kasus penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap para pembantu rumah tangga asal Indonesia. *

Malaysia Black List 19 Agen TKI dan 4096 Majikan

Malaysia Black List 19 Agen TKI dan 4096 Majikan

KESRA--4 JULI: Kasus penganiayaan Ceriyati membawa hikmah baik bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Malaysia. Akibat kasus itu, Pemerintah Malaysia mencabut izin operasi sebuah agen pengalur, serta mencabut sementara 19 agen lainnya.

"Selain itu, ada 4.096 majikan yang juga masuk black list tidak boleh mempekerjakan TKI untuk pembantu rumah tangga. Itu dilakukan setelah Pemerintah Indonesia mendesakkan sejumlah fakta penganiayaan,'' kata Atase Ketenagakerjaan Kedubes Indonesia di Kualalumpur Teguh Hendro Cahyono, Selasa (3/7).

Didampingi Kepala Biro Penerangan Kedubes Eka Suripto, dia mengatakan kasus Ceriyati memang semakin membuka mata hati Pemerintah Malaysia untuk lebih memperhatikan tenaga kerja sektor informal tersebut. Sebab jumlahnya lebih dominan dibandingkan tenaga formal.

''Ini kemajuan yang luar biasa, sebab beratus-ratus kasus terjadi, tidak pernah menggoyahkan opini publik di Malaysia tentang perlakuan kejam mereka kepada PRT. Namun ternyata kasus ini lain. Ini menjadi momentum berbenah bagi mereka dalam menangani kasus tenaga kerja informal,'' kata Eka.

Dihubungi di sela-sela sosialisasi bekerja aman di Malaysia, yang dilaksanakan di Pendapa Rumah Dinas Bupati Karanganyar, Eka mengatakan tidak saja mem-black list sejumlah agen dan majikan. Pemerintah Malaysia juga akan membuat undang-undang yang mengatur tenaga kerja informal.

''Selama ini yang sudah diatur tenaga kerja formal. Nah, PRT tidak ada, karena itu wajar kalau tidak pernah mendapatkan perlindungan sepadan. Ini sudah maksimal desakan dari Pemerintah Indonesia melalui Kedubes RI di Kualalumpur.''

Karena itu, Pemerintah Indonesia berharap undang-undang yang mengatur sektor informal itu segera bisa diselesaikan. Jika aturan itu sudah ada, diyakini kasus penganiayaan PRT akan semakin kecil.

''Memang, kita tidak bisa mengatur kapan undang-undang itu diselesaikan. Ibaratnya UU soal traficking yang baru selesai dibahas dan diundangkan dua tahun, nantinya juga seperti itu. Tapi adanya itikad membuat UU itu sudah cukup maju,'' kata dia.

Tentang bebasnya majikan Ceriyati dari jeratan hukum, Eka mengatakan, yang sebenarnya terjadi bukan dibebaskan. Namun menurut perundangan di Malaysia, seseorang yang didakwa menganiaya diperbolehkan memperoleh pembebasan (tahanan kota) setelah tujuh hari dipenjara. Tentu dengan sejumlah uang jaminan.

''Itu bisa terjadi, dan kita tidak bisa apa-apa, karena begitulah undang-undang yang ada di sana. Namun majikan itu tidak bebas. Malah dia termasuk yang diblack list tidak boleh mempekerjakan PRT,'' kata dia.

Begitu pula soal komentar Menteri Penerangan Malaysia bahwa kasus penganiayaan TKI hanya tidak sampai 1 % dibandingkan jumlah TKI yang bekerja di Malaysia, Eka bisa memaklumi.

''Yang berkembang memang berita negatif saja. Padahal TKI yang aman-aman saja dan berhasil, jumlahnya jauh lebih besar. Tapi itu sama juga yang terjadi di Malaysia."

"Berita meningkatnya kriminalitas juga dituduhkan kepada TKI sebagai penyebab. Padahal setelah didata, dari 43.000 kasus dalam setahun, yang dilakukan warga asing hanya 2.600, di antaranya dari Indonesia. Itu juag yang ditonjolkan media Malaysia. Jadi kalau mau berimbang, mestinya tidak hanya media Indonesia saja, tapi juga media di Malaysia harus ditertibkan," katanya. (cn/broto)

Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal


Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal
Selasa, 4 Agustus 2009 05:14 WIB | Peristiwa | Naker | Dibaca 290 kali
Disnakertrans Karawang Sulit Kontrol Agen TKI Ilegal
Agen TKI/ilustrasi (ANTARA)@
Karawang (ANTARA News) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Karawang kesulitan menangani agen atau sponsor tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang mulai marak di Karawang, karena agen tersebut berkantor di Jakarta.

Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja, Bidang Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja, Disnakertrans Karawang, Tatang Jumhana, mengaku tidak bisa menutupi adanya praktik perekrutan TKI di Karawang oleh agen dan sponsor ilegal.

"Agen TKI ilegal itu kemungkinan memang ada. Tapi kami sulit mengontrolnya. Jadi, kami harapkan adanya kontrol dari masyarakat," katanya, di Karawang, Senin.

Dikatakannya, untuk mengantisipasi maraknya agen atau sponsor TKI ilegal di Karawang, pihaknya hanya bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat Karawang. Dengan demikian masyarakat Karawang yang berencana menjadi TKI bisa mengetahui agen yang ilegal dan yang legal.

"Kami juga berharap kepada aparat desa dan kecamatan se-Karawang agar lebih teliti dalam memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada para calon TKI, karena agen yang ilegal terkadang merekruit calon TKI dibawah umur, dengan memanipulasi KTP," katanya.

Sementara itu, sesuai dengan data Disnakertrans Karawang, jumlah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang terdaftar itu mencapai 170 perusahaan. Namun, PJTKI yang aktif mengirimkan TKI hanya sebanyak 95 perusahaan. (*)

Agen TKI di Malaysia rugi Jutaan Ringgit

Agen TKI di Malaysia Rugi Jutaan Ringgit
Jum'at, 26 Juni 2009 , 21:10:00

KUALA LUMPUR, (PRLM).- Agen penyalur pembantu rumah tangga di Malaysia bersiap mengalami kerugian karena Indonesia akan menghentikan sementara pengiriman pekerja domestik ke negeri jiran.

Penghentian pengiriman tenaga kerja itu, yang akan diterapkan saat dua wakil pemerintahan bertemu awal bulan depan, akan menyebabkan lembaga penyalur tenaga kerja di Malaysia menderita kerugian jutaan ringgit.

"Berdasarkan statistik imigrasi, sekitar enam hingga tujuh pekerja domestik dibawa ke sini oleh agen penyalur tiap bulan," kata Raja Zulkeply Dahalan, presiden Asosiasi Malaysia untuk lembaga penyalur pekerja domestik asing, Jumat (26/6), seperti dikutip dari laman Earthtimes.

Zulkeply mengatakan, puluhan ribu keluarga akan menghadapi masalah berkaitan dengan penundaan pembantu pesanan mereka. Dia mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mencari solusi terbaik.

Terdapat sekitar 320.000 pembantu rumah tangga di Malaysia, sekitar 85 persen di antaranya berasal dari Indonesia. Kelompok pekerja dan hak asasi manusia menuntut agar peraturan pekerja Malaysia dirombak karena tidak melindungi hak-hak pekerja domestik. Saat ini, pekerja domestik asing tidak diperbolehkan menyimpan sendiri paspor mereka.

"Ada kasus kekerasan tertentu yang harus kita perhatikan, tetapi kedua pihak harus melihat lewat frame yang lebih lebar, dan kedua negara harus siap menghadapi kerugian jika penundaan pengiriman pekerja domestik itu diterapkan," kata Zulkeply.

Awal bulan ini, Malaysia mengumumkan peraturan wajib bagi majikan untuk memberikan satu hari libur tiap pekan bagi pembantu. Bila tidak dilakukan, mereka akan dikenai denda sebesar 10.000 ringgit (US$2.700). (das)***

Berita Tenaga Kerja Indonesia


MALAYSIA TERIMA USUL INDONESIA
TKI di Malaysia Boleh Pegang Paspor Sendiri
KOMPAS/AGUS MULYADI

Senin, 24 Agustus 2009 | 04:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Pemerintah Malaysia menerima proposal yang diajukan Indonesia terkait pelayanan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia, khususnya untuk pembantu rumah tangga, antara lain diizinkannya TKI memegang sendiri paspornya.

Dengan demikian, kartu pengenal TKI yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia, yang selama ini dianggap pengganti paspor, tidak diberlakukan lagi.

Seiring dengan kebijakan itu, Pemerintah Malaysia menegaskan akan memberlakukan sanksi tegas kepada pelanggar hukum, baik TKI maupun majikan yang mempekerjakan TKI ilegal.

Hal itu disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno di Jakarta, Sabtu (22/8). Erman didampingi Kepala Pusat Humas Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Sumardoko dan Kepala Biro Hukum Depnakertrans Soenarno.

Perundingan kedua negara terkait masalah TKI itu berlangsung di Malaysia, Kamis pekan lalu. Delegasi RI yang dipimpin pejabat eselon satu Departemen Luar Negeri mengajukan beberapa hal dalam proposal, antara lain TKI memegang sendiri paspornya, ada deskripsi kerja yang tegas, kenaikan dan transparansi gaji, cuti, libur sekali dalam seminggu, perlakuan hukum yang adil, serta penertiban agen pekerja asing nakal di Malaysia.

”Semakin cepat perbaikan MoU (nota kesepahaman) selesai, semakin cepat moratorium dicabut,” kata Erman.

Indonesia membekukan penempatan TKI informal sektor rumah tangga ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 karena banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap TKI di negeri jiran itu. Terakhir, kasus penganiayaan dialami TKI asal Garut, Jawa Barat, Siti Hajar, dan Modesta asal Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sekitar 2,2 juta TKI kini bekerja di Malaysia dan satu juta orang di antaranya bekerja tanpa dokumen resmi.

Libur sehari


Selain tentang paspor, Pemerintah Malaysia juga menyetujui TKI di sektor rumah tangga menerima hak libur sehari dalam seminggu dan ketentuan tentang upah minimum. Namun, dua hal itu masih harus dibahas dengan parlemen Malaysia karena menyangkut kebijakan publik.

Direktur Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans Abdul Malik Harahap, yang termasuk anggota delegasi RI, menyatakan, hak libur sehari dan upah minimum diharapkan sudah final pada Oktober 2009.

Adapun tentang struktur biaya penempatan TKI, pelaksana penempatan TKI swasta Indonesia dan agen penempatan di Malaysia akan bertemu di Jakarta, 5 September 2009.

Dalam pertemuan itu, RI dan Malaysia sepakat membentuk satuan tugas pengawasan pelayanan dan perlindungan TKI di Malaysia. (ham)