Saturday, August 29, 2009

Soal TKI di malaysia

Soal TKI di Malaysia
Fadliyanto
Wed, 08 Jul 2009 22:31:33 -0700

Harusnya dari dulu begini. Jadi TKI punya bargaining power dan lebih
terlindungi. Mudah-mudahan pejabat KBRI di kuala lumpur bisa makin bagus.
Jangan korupsi lagi kayak dulu. Udah jadi TKI susah, di kompas pula sama
pejabat KBRI. Emang layak banget tuh Rusdihardjo masuk bui.

BTW, kenapa Dubes RI di Malaysia mantan Kapolri lagi ya...?

*KOMPAS.com *— Pesawat Malaysia Airlines yang membawa delegasi Indonesia
mendarat di Kuala Lumpur International Airport, Sepang, Minggu (5/7), tengah
malam. Pejabat KBRI Kuala Lumpur yang menjemput membawa Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Erman Suparno dan rombongan ke gedung VIP bandara.

Dua pejabat Kementerian Sumber Manusia Malaysia menyambut delegasi RI di
sana. Terjadi perbincangan tertutup selama 30 menit.

”Baru kali ini ada pejabat Malaysia menyambut kami di bandara. Bahkan,
mereka juga menawarkan memberi akomodasi yang dengan halus kami tolak karena
sudah disediakan KBRI. Hal ini belum pernah terjadi,” ujar seorang pejabat
anggota delegasi RI keesokan harinya.

Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar saat sarapan pagi di hotel di
kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, mengatakan, pejabat-pejabat Malaysia
terus memintanya untuk membujuk Jakarta agar mencabut moratorium TKI
informal.

Tekanan dalam negeri

Harian *The Star* terbitan Minggu (5/7) mengungkapkan, agen pembantu dan
calon majikan di Malaysia terancam merugi 10 juta ringgit (sekitar Rp 30
miliar) bila Indonesia tidak segera mencabut moratorium. Wakil Presiden
Persatuan Agen Pekerja Asing (PAPA) Malaysia Jeffrey Foo mengatakan, PJTKI
menahan dana jaminan yang sudah dibayar agen dan calon majikan di Malaysia
dengan dalih tidak bisa mengirim pembantu karena sedang moratorium.

PAPA mendesak Pemerintah Malaysia untuk memaksa Pemerintah Indonesia
membantu pencairan kembali dana tersebut dari PJTKI. Foo mengklaim, banyak
agen pekerja asing di Malaysia terancam bangkrut bila tidak segera
mendapatkan kembali dana mereka.

Calon majikan harus membayar jaminan sedikitnya 2.500 ringgit (sekitar Rp
7,5 juta) kepada agen pembantu asing di Malaysia untuk mendapatkan biodata
pembantu. Apabila setuju, majikan harus membayar komisi agen sedikitnya
6.000 ringgit (Rp 18 juta) untuk mendapatkan pembantu dari Indonesia, naik
dari sebelumnya 3.500 ringgit (Rp 10,5 juta) per orang.

Aktivis Migrant CARE Malaysia Alex Ong mengungkapkan, pemerintah harus
menghapus ”perdagangan” biodata yang selama ini terjadi. Agen pekerja di
kedua negara memiliki kekuasaan penuh dalam kartel ini.

Para majikan yang sudah telanjur membayar kepada agen pun kini resah. Mereka
sudah membayar, tetapi tak kunjung mendapat kabar kedatangan pembantu dari
Indonesia.

*Pasar TKI ilegal*


Hal ini membuat Malaysia berusaha merayu Indonesia agar segera mencabut
moratorium. Kedekatan wilayah membuat arus migrasi WNI ke Malaysia, baik
untuk bermukim, belajar, maupun bekerja, sangat tinggi.

Saat ini, sedikitnya 2,2 juta TKI berada di Malaysia. Dari jumlah itu, hanya
1,2 juta orang yang tercatat resmi dan satu juta orang lagi bekerja tanpa
punya dokumen resmi sehingga rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi
manusia (HAM). Jumlah TKI di Malaysia bakal terus naik karena sedikitnya
3.000 TKI resmi berangkat ke Malaysia setiap bulan.

Jumlah TKI ilegal diperkirakan hampir sama karena begitu banyak pintu masuk
ke Malaysia dan kemudahan imigrasi dengan sistem visa kunjungan 30 hari. Ada
yang modal nekat masuk ke Malaysia lalu mencari pekerjaan secara diam-diam.
Ada pula calo dari Malaysia yang khusus menjemput mereka ke Indonesia.
Terakhir adalah lewat prosedur resmi berangkat ke Malaysia, tetapi izin
kerja baru diurus setelah para TKI tiba di tempat penampungan agen Malaysia.

Begitu besarnya jumlah TKI ilegal di Malaysia karena tingginya permintaan.
Banyak majikan di Malaysia yang membutuhkan pekerja asing bergaji murah dan
penurut. Mereka mempekerjakan pembantu dari Indonesia dengan standar upah
Indonesia.

Mereka yang bekerja di Semenanjung Malaysia rata-rata bergaji 400-500
ringgit (Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta) per bulan. TKI yang bekerja di Sarawak dan
Sabah lebih menyedihkan, hanya bergaji 200-300 ringgit (Rp 600.000-Rp
900.000) per bulan.

Untuk pekerja konstruksi, TKI kerap diupah 30-35 ringgit dari normalnya 55
ringgit per hari. Karmadi, pekerja konstruksi di Kampung Pandan, Kuala
Lumpur, mengungkapkan, mereka juga sering menerima gaji kurang karena sistem
pembayaran dua bulan sekali.

Penderitaan TKI tidak hanya soal gaji. Mereka terkadang juga tidak
memperoleh kondisi kerja yang baik. Misalnya, tidur beralas kasur busa tipis
tanpa dipan di kamar tanpa ventilasi, deskripsi tugas yang tidak jelas, jam
kerja sejak subuh sampai dini hari, dan tanpa libur. Belum lagi penganiayaan
fisik dan mental lewat kata-kata kasar majikan.

Fakta-fakta ini yang kemudian mendorong pemerintah memutuskan moratorium
penempatan TKI informal ke Malaysia. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Erman Suparno mengumumkannya didampingi Dubes RI untuk Malaysia Da’i
Bachtiar dan Atase Ketenagakerjaan di Kuala Lumpur, Teguh Heru Cahyono, di
Jakarta, Kamis (25/6).

*Masalah kemanusiaan*

Namun, Pemerintah Malaysia ternyata memandang pelanggaran hak asasi manusia
TKI tak lebih sebagai statistik. Dalam pertemuan bilateral delegasi RI
dipimpin Erman Suparno dan delegasi Malaysia dipimpin Menteri Sumber Manusia
S Subramaniam di Putra Jaya, Selangor, Senin (6/7), Wakil Menteri Dalam
Negeri Malaysia Wira Abu Seman Yusop, penganiayaan TKI oleh majikan hanya
0,05 persen dari 300.000 pembantu RI di Malaysia.

”Saya sampaikan ke Pemerintah Malaysia, ini bukan soal jumlah kasus. Kami
ingin perbaikan mendasar berlandaskan perikemanusiaan,” kata Erman di Kuala
Lumpur, Selasa. ”Semakin cepat revisi MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai, tentu menguntungkan Indonesia dan Malaysia. Kami dapat
mencabut moratorium bila keinginan terpenuhi dengan MoU,” ujar Erman.

Pemerintah memang sudah mulai bersikap tegas menghadapi mulut manis
Malaysia. Namun, moratorium sampai MoU pelayanan dan perlindungan TKI di
Malaysia selesai belum cukup.

Pemerintah juga harus konsisten membenahi berbagai masalah TKI di dalam
negeri. Mulai dari perekrutan sampai pungutan liar terhadap TKI yang pulang
ke Tanah Air.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusjdi Basalamah meminta
pemerintah menyediakan calon TKI yang siap pakai sehingga PJTKI fokus
mencari pasar kerja dan menempatkan mereka.

Sudah saatnya pemerintah juga memakai pendekatan kemanusiaan dalam melayani
buruh migran. Mereka bukan sekadar mesin pencari uang remitansi puluhan
triliun rupiah yang kadang harus menggadaikan nyawa demi menggerakkan
perekonomian bangsa. Mereka adalah manusia yang terpaksa bekerja ke luar
negeri mengejar kesejahteraan yang belum disediakan sepenuhnya di dalam
negeri.

No comments:

Post a Comment